Hablum Minannas Chapter Six
Chapter Six : Daily life of
Kemujing 1
“In life, it's not about finding yourself. It's about creating yourself”
- DiaryOnLife.tumblr.com -
Seringkali kita mengeluh akan
keadaan yang tidak sesuai dengan harapan kita. Aku yang pernah mengikuti survey
tidak menyangka bahwa keadaan titik penerjunanku sangatlah kurang. Dibanding
dengan titik lain, Kemujing 1 lah yang paling sederhana. Dimulai dari tempat
tinggal, suasana lingkungan sampai urusan makanan.
Minggu pertama adalah masa dimana
kita beradaptasi dengan lingkungan. Untuk urusan makan biasanya kita tinggal
pesan atau memasak dengan peralatan modern namun kali ini kami memasak dengan
pawon. Dari awal kita sudah menetapkan jadwal bersih-bersih dengan jadwal
masak. Tentunya kaum adam tidak kebagian jadwal masak. Sebagai gantinya para
cowok mencari kayu dan blarak ke hutan atau meminta pak Kades. Hal itu
berlangsung selama kurang lebih 5 hari di awal. Kompor gas menjadi akhir dari
penderitaan kami untuk menggunakan alat masak tradisional itu. Kompor itu
dipinjamkan dari salah satu warga yang kebetulan menjenguk teman kami yang
terkena musibah. Beliau melihat cara memasak kami dan iba melihat kami semua.
Hari-hari kami dipenuhi
kesederhanaan. Kami selalu makan bersama. Menunggu yang lainnya untuk pulang
dan menyantap hidangan seadanya. Jika titik lain ada acara malam keakraban saat
weekend, Malam Kemujing 1 selalu dipenuhi dengan keakraban menurutku. Kami
selalu gotong royong dalam melaksanakan semuanya. Contohnya piket. Kami sering
membantu orang yang bertugas saat itu. Ketika orang yang piket sedang sibuk,
maka yang lainnya dengan sukarela membantu. Mencuci piringpun juga demikian.
Pokoknya kami jarang berselisih tentang siapa yang piket. Tetapi kita langsung
beraksi. Siapa yang bisa silahkan membantu.
Awalnya memang kita jaim. Aku pun
ada sebagian yang baru kenal ketika penerjunan. keakraban memang butuh waktu.
Seperti layaknya pdkt. Jarang sekali orang yang langsung nembak/ melamar tanpa
pdkt. Semua itu butuh proses. Awalnya kita jaim untuk memakai gelas bekas.
Pasti awalnya kita menanyakan gelas siapa ini. Tapi pada akhirnya masa bodoh.
Dimana ada gelas kalau terlihat bersih entah itu sudah dipakai atau belum tetap
saja kami pakai. Yang awalnya ketika makan piringnya sendiri-sendiri pada
akhirnya makannya jadi sepiring berdua. Awalnya kita tidur dengan zona laki dan
zona perempuan dibatasi dengan kardus namun pada akhirnya kami mulai tidur
tidak beraturan. Dari yang pembatasnya dihiraukan sampai tidurnya cowok cewek.
Untung saja kami masih bisa menjaga nafsu. Soal kentut sudah menjadi hal biasa
bagi kami. Entah siapa yang memulai kentut sembarangan.
Pagi hari adalah waktu yang
nikmat buat menyeruput teh dan memakan singkong goreng. Namun terkadang kita
juga memakan gorengan yang dibeli di warung sebelah sekolah. Udara yang segar
berpadu dengan bau kotoran kambing sering kita lalui. Sebelah basecamp kami
memang ada kandang kambingnya. Urusan mandi pagi memang pengajar yang
diutamakan. Kami para panitia sedikit santai ketika pagi datang. Panitia selalu
bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Alhamdulillah tidak menjadi Pengajar
yang harus siap jam 7 pagi. Panitia memang agak keset dibandingkan
pengajar. Tak seperti titik lainnya, panitia Kemujing 1 jarang sekali ke
sekolah ketika jam KBM. Paling hanya ED, atau PDD saja. Aku yang sebagai
Koordinator Lapangan saja jarang ke sekolah. Malahan sering pak Kepala Sekolah
yang berkunjung ke Basecamp kami. Sampai pernah beliau bertamu ketika aku
sedang mencuci piring di kamar mandi.
Kamar mandi kami memang
serbaguna. Memang kamar mandi kami tidak seperti titik penerjunan lain yang
mayoritas ada lubang/ tidak ada pintunya. Kamar mandi kami dibuat untuk mandi,
BAB, BAB, mencuci pakaian sampai isah-isah. Mungkin hanya kamar mandi
fasilitas yang bisa dibanggakan dibandingkan tempat lain.
Minggu awal kami memang terkesan
santai dengan kegiatan yang ada. Proker yang dijalakan hanya yang sederhana.
Namun pada minggu kedua kami mulai disibukkan dengan kegiatan yang padat.
Sepulang sekolah para pelatih drum band, saman dan menyanyi maupun puisi sudah
bekerja. Aku juga sebagai korlap sering bepergian ke Kemujing 2 guna merumuskan
Proker gabungan. Festival rakyat. Hal itu kuperpadat dengan proker tambahan
yang kurasa penting. Ada sedikit rasa bersalah karena menyibukkan
teman-temanku. Titik penerjunan lain sudah sibuk mendekorasi panggung untuk
perpisahan, namun hanya titik penerjunan kami yang belum mendekorasi apa-apa
dan malah menjalankan proker tambahanku itu.
Imbas dari kesibukan itu semua
banyak yang tumbang dan sakit. Aku pun ikut sakit seusai menjalankan proker
terakhir. Untung saja ada 3 dari teman kami yang anak FKM dan ada 1 anak KSR.
Terlebih teman-teman kita yang sangat peduli jika ada yang sakit dengan ikhlas
membantu menggantikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan orang yang sakit.
Keramahan di desa memang jauh
lebih baik daripada di perkotaan. Hal itu sudah bukan rahasia lagi. Setiap
jalan yang kami telusuri selalu saja ada senyuman simpul dari warga yang
melihat kami. Sesekali kami mengucapkan “monggo pak, monggo buk”. Seringkali
kami juga diberi oleh-oleh berupa singkong, nasi tiwul, atau lainnya yang
bermanfaat. Itulah yang membuatku kangen dengan kehidupan pedesaan yang begitu
damai.
Werewolf dan permainan kartu
lainnya menjadi andalan kami ketika sedang senggang. Permainan itu seakan
menyatukan kita setiap saat. Biasanya malam hari sehabis evaluasi kami
memainkannya. Itu pun kalau kami masih punya tenaga dan tidak mengantuk. Kami
pulang dari masjid saja selalu jam 8 keatas. Adzan sholat Isya’ disana memang
unik. Mereka mengumandangkannya bukan di awal waktu sholat, namun ketika pak
Kades a.k.a imam masjid sudah selesai mengajar mengaji anak-anak. Hal tersebut
yang terkadang menjadi perdebatan diantara golongan yang ingin pulang cepat
dengan yang ingin pulang ba’da Isya seperti aku. Walaupun begitu kami masih
bisa mengatasi masalah bersama.
Next Chapter : “Goodbye”
Komentar
Posting Komentar