Hablum Minannas Chapter Seven
Hablum Minannas
The last chapter : goodbye
“The most exciting it was to meet, the most sadder it feels to say goodbye"
- Kirishima Haruto (Kimi no Iru Machi) -
Masih tergambar jelas di
memoriku. Kehebohan anak-anak saat mengikuti lomba. Melihat mereka terjatuh akibat
lomba balap karung. Melenggak-lenggok menari tarian khas aceh. Semua
kebahagiaan terlukis jelas kala itu. Festival rakyat. Suatu program kerja kami
yang terakhir. Kami mengadakannya di balai desa Kumejing dekat dermaga. Suasana
disana sungguh riuh ramai. Banyak pedangang yang berjualan disana demi meraup
untung dari acara itu. Alhamdulillah..
Pagi itu suasana seperti
biasanya. Udara sejuk dan aroma tanah Kumejing tercium oleh hidung para tim
pengabdi. Bedanya hanya kami tidak mencium aroma kotoran kambing yang biasa
tercium saat di basecamp. Semalam memang kami tidur di rumah pak carik. Suatu
malam untuk melepas rindu kepada beliau yang banyak membantu demi
keberlangsungan acara kami.
“rokok mas Faesal?”. Pak
Carik menyuguhiku rokok yang bermerk terkenal.
“Nyuwun sewu pak mboten
ngudud”. Aku mencoba menolak dengan halus.
“Oh, yaudah niku nek mau
ngeteh apa ngopi buat sendiri ya mas”.
“Njeh pak”.
Tradisi disini memang
seperti itu. di meja tamu terdapat teh, kopi dan gula beserta air hangat. Para
tamu memang disuruh membuat sendiri. Tuan rumah akan senang jika apa yang
disuguhkan bisa dinikmati.
Jarum jam menunjukkan
pukul 05.45. Pak Carik sudah tampak rapi dengan pakaian dinasnya. Beliau hendak
pergi ke kantor balai desa untuk memenuhi kewajibannya. Aku beserta teman-teman
bersalaman dengan beliau sebelum berangkat. Beliau juga berpesan jika hendak
pulang nanti disuruh mengabari pak Carik.
Setelah sarapan di rumah
pak Carik kami berpamitan kepada Istri pak Carik. Kami harus ke basecamp untuk
mempersiapkan kepulangan kita. Sekalian saja kita berpamitan untuk meninggalkan
Kumejing. Sepanjang perjalanan aku terus melihat beliau dalam sembunyi. Beliau
juga melihat kepergian kita dengan perasaan yang tak bisa kutebak. Yang pasti
beliau menampakkan wajah yang sedih. Sedih dengan kepergian kita.
Aku masih ingat saat itu
hari Senin. Setelah kami semua rapi dan sudah mandi lalu bergegas ke sekolah.
Awalnya niat kami hanya berpamitan kepada para guru dan tenaga ahli saja. Namun
pada akhirnya murid SD mencium keberadaan kami. mereka menghampiri kami dengan
wajah yang sedih. Ada yang menangis, ada yang memasang wajah datar, namun juga
ada yang ikut-ikutan memasang wajah sedih. Wajar bila perpisahan selalu
diiringi dengan airmata. Teman-temanku juga turut menangis seakan tidak ingin
berpisah dengan mereka. Aku menahan sekuat mungkin agar tidak menangis dalam
situasi seperti itu. Aku berhasil mempertahankan air mata yang keluar namun
hatiku serasa sesak dengan pemandangan itu semua.
Secarik kertas mereka
sodorkan kepada kami. Mereka berharap kami memberikan nomer telepon kepadanya.
Dengan senang hati urutan nomor itu kami tulis untuk tetap menyambungkan tali
silaturahmi antara kami dengan mereka.
Setelah pihak sekolah,
kami berpamitan kepada tetangga terdekat sekitar basecamp kami. Tak terkecuali
ibu penjual sayuran yang menyediakan bahan makanan kami dan pak RT yang baik
hati. kami berpamitan sekaligus meminta maaf atas kesalahan yang kami perbuat
selama berada di Kemujing. Kami memang selalu membuat keributan bahkan sampai
larut malam.
Kami berjalan
bersama-sama menuju Dermaga. Kami memang sudah memutuskan menggunakan kapal
sebagai transportasi kami karena lebih memungkinkan. Aku yang membawa motor
bertugas membawa barang bawaan agar pekerjaan lebih ringan. Kami dibantu oleh
kepala sekolah dan beberapa guru untuk membawakan barang bawaan kami. Mbak Watun,
tetangga pertama yang kami kenal juga meminjamkan motornya untuk membawa barang
bawaan kami.
Beberapa murid yang
sempat belajar ngaji denganku ikut mengiringi kami dalam perjalanan menuju
dermaga. Sesampainya di dermaga kami sudah ditunggu oleh pak nahkoda dan Pak
Carik. Kami sempat berfoto-foto untuk yang terakhir kalinya sebelum berpisah.
Sesaat setelah barang sudah terangkut di kapal, nahkoda mulai menyalakan mesin.
Itulah tanda kami akan berpisah disini. Lambaian tangan mulai kuarahkan kepada
mereka yang sempat mengiringi kami sampai akhir.
Selamat Tinggal Kemujing.
Desa luar biasa dengan seribu kenangan. Aku berharap suatu saat akan kembali
lagi kesini dengan jalan yang sudah bagus dan layak dilewati tapi tetap hijau
dan teduh. Kemujing. One of my best experience. Thank you..
Komentar
Posting Komentar