Hablum Minannas Chapter Two
Chapter Two : Kita Makan Apa nanti?
“Dengan kesederhanaan hidup bukan berati tidak ada kebahagian,
kebahagian ada pada seberapa besar keberartian hidup kita untuk hidup orang
lain dan sekitar, yap seberapa besar kita menginspirasi mereka. Kebahagian ada
pada hati yang bersih, lapang dan bersyukur dalam setiap penerimaan..”
-Tere Liye-
Lelah semua badan ini. Terlebih kedua bahuku yang sempat sakit
karena menumpu beban berat selama perjalanan tadi. Malam itu di rumah pak Kades
suasana hujan rintik-rintik. Aku tak menemukan keset bertuliskan “welcome” yang
biasa ditemukan di depan pintu luar. Kakiku masih kotor ketika melangkah
memasuki rumah sederhana tersebut. Langsung saja aku meminta izin ke kamar
mandi untuk membasuh kakiku.
Aku bertemu istri dari pemilik rumah ini.
Beliau berkata bahwa pak Kades masih berada di masjid. Beliau memang terkenal
sebagai orang tersibuk di wilayah ini. Beliau sebenarnya adalah Bapak Carik. Sebutan
bagi Sekretaris Desa. Beliau mendapatkan jabatan Kades dan Carik secara
bersamaan karena saat itu masa pergantian Kades. Jadi selama kurun waktu
setahun beliau menjadi Kades pengganti.
“Assalamu’alaikum”
Terdengar suara salam dari luar. Kupikir itu
salam dari pak Kades. Namun ternyata yang kulihat adalah sosok yang berbeda. Beliau
adalah tamu. Aku heran dengan kebiasaan warga daerah sini. Biasanya di Semarang,
tamu masih ada sopan santunnya untuk tidak langsung masuk ke rumah sebelum
dipersilahkan. Namun ternyata langsung masuk rumah itu adalah hal yang wajar
disini. Bahkan tamu tersebut langsung masuk ke ruang tv yang berada di sebelah
ruang tamu.
Selang beberapa saat terdengar suara motor.
Kali ini aku yakin itu adalah pak Kades. Kami langsung menyalami beliau. Beliau
sudah menebak kedatangan kami karena waktu dalam perjalanan tadi sempat bertemu
di jalan. Sebelumnya aku sudah pernah bertemu pak Kades saat survey dulu. Namun
mungkin beliau lupa dan menanyakan lagi namaku. Aku memperkenalkan diri dengan nama
‘Abiq Muhammad Faesal dan biasa dipanggil Faesal saat di Kampus. Beliau malah
mempertanyakan kenapa tidak dipanggil habib.
“Kenapa tak dipanggil mas Habib saja?”
Tanya beliau
“Endak pak. Itu panggilan
saat aku sekolah” jawabku.
Aku membatin bahwa
beliau salah mendengarkan. Yang awalnya ‘Abiq’ menjadi ‘Habib’. Aku tak berani
membenarkannya.
“Habib artinya kekasih. Kalau Habibullah Kekasih Allah. Pasti orang
tua sampean ulama.”kata beliau.
“Cuma guru agama pak”jawabku dengan malu.
Setelah itu aku langsung ijin buat mandi. Jam
10 aku mandi dengan air yang mengucur tiada henti di bak mandi. Tidak ada air
hangat. Yang ada hanyalah bak mandi yang besar dan terdapat pintu yang memiliki
banyak celah bagi pengintip. Setelah semua bersih aku berwudhu dan sholat. saat
itu aku belum sholat magrib, jadi aku menjama’ nya dengan sholat Isya’. Aku kembali
ke ruang tamu setelah sholat. Ada tamu lagi yang terlihat lebih muda dari tamu
pertama. Keduanya bertamu karena ingin mengurus KTP.
Malam semakin memancarkan cahaya hitamnya. Sempat
hening sesaat karena tidak ada bahasan. Tamu kedua sudah pamit beberapa saat yang
lalu. Tiba- tiba pak Kades berkata sesuatu. Beliau menyampaikan keluh kesah
warga atas biaya yang dibutuhkan untuk makan. Kami memang berniat membayar 200
ribu kepada salah satu warga untuk makan selama kami berada disana. Pak Kades
berkata bahwa 200 ribu itu hanya bisa untuk seminggu saja.
Kala
itu pikiranku jadi kacau. Aku yang bertugas sebagai Koordinator Lapangan di
daerah tersebut merasa bertanggung jawab dalam permasalahan ini. Aku merasa
harus berdiskusi dengan teman-temanku terlebih dahulu untuk memecahkan masalah
ini. Pak Kades juga memberi solusi untuk makan di tempat beliau dengan makanan
ala kadarnya dan gratis. Namun beliau butuh tenaga untuk memasak dan mencuci
piring. Beliau juga menyarankan untuk memasak sendiri.
Ada 3 opsi saat itu. Makan simpel terima
jadi dengan biaya 400ribu, makan gratis dengan perjuangan berjalan kaki dari
sekolah menuju rumah pak Kades tiap kali hendak makan dan masak sendiri. Sungguh
pilihan yang berat saat itu.
Paginya, aku langsung berjalan menuju
sekolahan untuk menemui teman-teman cewek yang memang tidurnya di rumah warga
dekat sekolah. Aku menyuruh mereka untuk sarapan bersama di rumah bapak Kades. Setelah
selesai makan kami semua berpamitan untuk menuju basecamp tempat tinggal kami
nantinya. Dalam perjalanan aku memberitahu permasalahan yang kita alami. Dari semua
perbincangan kami, kebanyakan keberatan untuk membayar 400ribu karena rata-rata
mereka hanya membawa uang 300ribuan. Seperti yang dianjurkan sejak awal. Rencana
makan di rumah pak Kades juga terkesan mustahil. Setiap kita hendak makan harus
menuju rumah beliau. Tiga kali sehari. Mungkin energi yang terkumpul setelah
makan akan langsung hilang dan lapar lagi karena harus jalan lagi menuju
sekolah.
Keputusan terbaik kala
itu memang masak sendiri. Di basecamp sudah tersedia pawon(tempat memasak dengan
kayu), dan 1 buah kendi dan gelas tua yang ditinggal oleh pemiliknya. Sedih rasanya
mengingat perjuangan kami yang begitu luar biasa. Setelah kami bersih-bersih
kerja bakti membersihkan rumah itu, kami langsung mengantri mandi. Saat itu aku
masih belum berpikir untuk mandi. Yang kupikirkan saat itu adalah bagaimana
kita makan siang nanti.
Aku ditemani
beberapa teman mengunjungi tetangga yang hendak memasakkan kami semua. Kami berkata
bahwa keputusan kami akan masak sendiri. Beliau memaklumi dan menerima kami
yang notabenenya mahasiswa yang punya keterbatasan biaya. Di akhir perbincangan
kami hendak meminjam peralatan dapur namun sayangnya beliau hanya mempunyai
segalanya satuan. Yak, masalah belum terselesaikan. Kami masih harap-harap
cemas untuk makan.
Minggu itu grup line
sudah penuh dengan foto. Tiap titik penerjunan lainnya memamerkan foto mereka
ketika berjalan-jalan. Hanya Kemujing 1 yang memikirkan cara bertahan hidup
disana. Aku dan temanku langsung berbelanja kebutuhan masak di warung yang ditunjukkan
oleh ibu koki. Ibu yang hendak memasakkan kami namun dengan jahatnya kami
membatalkannya.
Setelah beras, bumbu
pawon, penyedap rasa dan beberapa lauk sudah terbeli, kami langsung pergi ke
basecamp. Tak disangka ternyata dapur sudah dipenuhi dengan berbagai peralatan.
Ada piring, nampan, baskom, wajan dan peralatan lainnya. Tidak lupa kayu bakar
dan blarak(daun kelapa kering). Aku tidak tahu entah darimana bantuan ini. Ibu koki juga hadir disitu untuk
mengajari kami cara memasak menggunakan pawon. Wajar kami tidak mahir dalam
menggunakan benda itu karena kami terbiasa menggunakan magic jar dan kompor gas
untuk memasak sesuatu.
Menu pertama masakan buatan
kami adalah tempe orek. Tempe yang dihancurkan dan langsung dipenyet
menggunakan sambal. Satu anak hanya dijatah 1 tempe saja. Perbedaan jelas
terlihat dari yang biasanya aku memakan tempe sepuasnya di rumah namun kini
harus makan dengan 1 tempe saja. Alhamdulillah aku sudah terbiasa dengan
keadaan seperti ini di pondok dulu waktu Tsanawiyah. Makanan itu baru matang
sore hari. Hal itu menandakan bahwa itu adalah makan siang kami sekaligus makan
malam. Kabar gembira bagi yang ingin diet. Malam harinya kami hanya mengganjal
perut kami dengan kopi, teh ataupun susu.
Hari demi hari kami lalui
seperti itu untuk bertahan hidup. Perempuan bertugas untuk masak dan laki-laki
bertugas untuk mencari kayu bakar. Seringkali kita diberi bantuan oleh tetangga
sekitar. Ada yang memberikan singkong, carica, pepaya, nasi tiwul, kelapa muda,
getuk dan lain sebagainya. Bahkan tetangga sebelah rumah basecamp kami sering
memberikan kayu bakar dan blarak di pagi hari. Padahal beliau sudah tua dan
mempunyai cucu namun masih sanggup memanggul beban kayu bakar yang berat. Aku
sebagai pemuda terkadang malu melihat hal tersebut.
Terkadang aku menyesali
telah mengambil keputusan untuk masak sendiri. Ingin rasanya aku menyerah. Aku kasihan
dengan teman-teman yang harus dibebankan bangun pagi, menyiapkan sarapan, makan
siang dan sore. Terlebih pengajar harus mempersiapkan diri untuk mengajar dan
panitia bersiap untuk menjalankan proker yang telah dirancang. Namun teman-teman
meyakinkanku dan memberikan kepercayaan diri bahwa kita semua bisa menjalankan
ini bersama. Untung saja orang-orang di Kemujing 1 mampu bertahan di dalam
kesederhanaan ini dan mempunyai personil perempuan-perempuan istriable yang bisa
memasak.
Next Chapter :
“Suara di Kesunyian”
Komentar
Posting Komentar