Hablum Minannas Chapter Three



Chapter Three : Suara di Kesunyian

Jangan pernah berpikir kamu sendirian
-Anonymous-

     Rumah yang kami tinggali memiliki 4 kamar dengan 1 kamar mandi. 2 kamar di depan kami gunakan sebagai tempat barang dan tempat ganti baju. Sedangkan 2 ruang lainnya kami bersepakat untuk tidak memakainya. Ruangannya terlalu horror. Terdapat banyak kotoran tikus di 2 kamar tersebut. Kami menggunakan ruang tamu sebagai tempat tidur kami.
    
      Rumah ini sudah tampak horror ketika pertama kali kami disana. Namun para warga selalu meyakinkan kami bahwa tidak ada apa-apa disana. Hanya penampilannya saja yang memang kotor dan berdebu karena ditinggal selama 5 tahun. Minggu itu tepatnya hari kedua kami kerja bakti membersihkan rumah tersebut. Tikus, kecoa dan laba-laba adalah hewan yang familiar kami lihat ketika itu.
    
     Setelah semuanya rumah bersih secara fisik(kecuali 2 kamar horror itu), kami membersihkan rumah tersebut secara batin. Salah satu dari kami yang termasuk lulusan pondok mengusulkan untuk membaca yasin ba’da Magrib. Aku yang juga pernah di pondok disuruh untuk memimpin yasinan saat itu. Hehe.. walaupun aku agak hafal dengan surat yasin namun aku lupa untuk intro saat hendak yasinan. Yang kuingat cuma kirim alfatihah kepada Nabi SAW lalu Syeih Abdul Qodir al-Jaelani saja. Apapun bacaan kami yang terpenting niatnya karena suatu perbuatan itu tergantung oleh niat ^_^”

     Malam pertama di Basecamp. Seperti biasa aku butuh adaptasi untuk tinggal di tempat baru. Susah tidur menjadi efek samping untuk adaptasiku. Kadang aku terbangun dari tidur karena dinginnya malam. Kami tidur hanya beralaskan tikar dan kasur Palembang. Untuk yang berada di kasur Palembang disepakati tidak mendapatkan bantal karena alasnya sudah terempuk. Lainnya yang menggunakan tikar mendapatkan bantal. Kami semua mendapatkan alat tidur yang lengkap itu dari para tetangga yang peka dengan kehidupan kami. Tanpa bantuan mereka kami hanya akan tidur dengan 2 tikar dengan selimut seadanya dan tanpa bantal karena kami tidak mempersiapkan itu semua. Untuk memisah laki-laki dengan perempuan hanya diberi sekat kardus dan ceret saja. Kebetulan yang berada di batasnya adalah aku.

     Curhatan di malam pertama. Ada yang hidungnya dihinggapi sesuatu. Mungkin itu hanya kecoa atau tikus yang numpang lewat. Ada yang curhat mendapatkan pukulan kentut tepat di wajahnya. Haha aku membenarkan hal itu karena sewaktu aku terbangun dari tidur mendengar 2 kali suara bom pantat itu dari barisan tempat tidur perempuan. Dari sekian curhatan lucu itu ada satu hal yang membuat kami merinding. Ada yang mengaku mendengar suara tawa di kesunyian malam. Padalah kami semua tidak ada yang tertawa pada saat itu.
    
     Malam kedua dengan orang yang sama mendengar sesuatu yang tidak didengar orang lain. Dia mendengar ada seseorang yang memanggil salah satu dari kami dengan suara samar saat kami semua terlelap dalam tidur.

     “In*y. . . In*y. . .” seperti itulah suara yang didengar oleh temanku.

     Hal mistis itu terjadi lagi di malam selanjutnya. Kali ini dialami oleh orang yang berbeda. Ketika sedang memasak dia seperti mendapat sahutan dari sesuatu yang tak kasat mata saat dia mengeluh soal api yang tak kunjung menyala.

     Suatu ketika di sore hari kami terpisah menjadi 2 bagian. Aku beserta pengajar lainnya pergi untuk home visit. Sedangkan lainnya jalan-jalan ke dermaga. Saat itu kami pulang hingga hampir adhan magrib berkumandang. Para tetangga sudah meresahkan kami yang tak kunjung pulang. Untungnya kami semua kumpul dan pulang dengan selamat. Ketika hendak makan malam bersama kami membangunkan teman yang tertidur saat itu.
    
     Ada hal aneh saat kami membangunkannya. Kami sudah menggoyangkan badannya dan menampar wajahnya namun dia tak kunjung bangun. Kami mulai panik. Dia pingsan. Aku langsung keluar meminta bantuan warga. Dengan bantuan ibu tetangga, temanku langsung bangun dengan mengusapkan tangan beliau yang berlumur minyak kayu putih ke leher temanku. Ketika bangun dari pingsan temanku berkata bahwa dia melihat sesuatu yang berwajah setengah sedang melihatnya dari atap rumah. Sontak bulu kuduk kami merinding. Sejak saat itu kami tidak pernah pulang terlalu sore lagi. Aku masih teringat kata-kata mamah saat aku kecil dulu

     “Ojo dolan sampek surup-surup”.

     Malam terakhir kami tidur di basecamp. Kami bermain kartu sampai larut malam. Kami tertawa lepas memecah kesunyian malam. Salah satu dari kami mengingatkan untuk tidur namun selalu kami hiraukan. Hingga suatu ketika setelah aku tertidur beberapa temanku melihat seberkas cahaya yang tak tahu asalnya darimana. Awalnya mereka pikir adalah cahaya senter. Namun kami sadar  bahwa tak ada yang bermain senter saat itu dan tak mungkin pula ada sinar dari luar yang menembus genteng. Selain itu ada salah satu dari kami yang mendengar suara langkah kaki di malam hari, suara orang meminta pertolongan, dan suara yang memanggil-manggil namaku.
   
    “Fae… Fae…”. Kenapa juga aku yang dipanggil. Pikirku dalam hati.

    Salah satu temanku mengaku bahwa dia betah dengan keseharian teman-teman dan kehidupan kami disana. Namun ada satu hal yang membuat dia tidak betah untuk tetap tinggal disana dan ingin segera pulang. Satu hal tersebut tidak dikatakan temanku karena nanti akan terdengar oleh mereka. Mereka yang tak dapat kita lihat dengan mata normal.

Next Chapter : “Proker”

Komentar

Postingan Populer