Hablum Minannas Chapter One

Chapter One : On The Way
“. . . Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.”
(HR. Thabrani dan Daruquthni)


     Pagi itu suasana tak seperti biasanya. Aku terbangun dari tidurku dengan semangat berapi-api. Seperti biasa, jika sedang keadaan seperti ini hormon adrenalin dalam tubuhku terpacu sehingga menimbulkan reaksi mual. Setelah mendirikan sholat shubuh aku bergegas mandi. Tak perlu membutuhkan waktu lama aku sudah tampak rapi dengan kemeja merah kotak di badanku.

     Sarapan di meja telah disiapkan mama sebelumnya. Dengan lahap aku memakannya dengan penuh rasa syukur. Aku membuat secangkir kopi untuk melengkapi sarapan di pagi itu. Tak lupa sebatang rokok kuhisap habis sampai tembakau terbakar seluruhnya. Kepulan asap putih keluar dari mulutku. Hal tersebut bukan dari asap rokok, namun karena dinginnya pagi di hari itu. Dengan iringan do’a setelah pamitan aku menyalakan mesin motorku. Orang tuaku memberikan uang 500 ribu untuk keperluanku selama bepergian.
    
     Aku membawa 2 tas. Tas besar berwarna hijau yang sempat dibawa orang tua pergi haji dan tas berukuran kecil yang kugunakan untuk membawa tab, charger dan dompet. Aku memang tidak terbiasa menaruh dompet di saku celana. Aku tidak ingin benda seperti itu mengganjal di pantatku.

      Jalanan masih sepi di pagi itu. aku dengan mudahnya mempercepat kendaraanku. Hanya butuh 35 menit untuk sampai Student Center. Titik kumpul kesepakatan kami berkumpul untuk menuju desa pengabdian kami. Wadaslintang, Wonosobo. Aku hanya melihat beberapa orang dengan segala perlengkapan disampingnya. Tak terduga ternyata tasku yang terbesar diantara mereka semua. Beberapa teman mulai mengejek perihal itu. Dengan santainya aku menanggapi itu semua. Tas yang kubawa ini memang lebih tepat digunakan untuk pergi umroh daripada pergi ke desa selama 2 minggu.
    
     Setelah menunggu kelengkapan peserta pengabdi dan melakukan upacara, kami menaikkan semua barang ke bagasi bus. Kami menyewa 2 bus milik Undip. 1 bus untuk pejuang pengabdi di titik Kaligowong, Sumbersari, dan Rejosari dan bus lainnya untuk pejuang pengabdi daerah Kemujing 1 dan Kemujing 2. Kami memang terpisah menjadi 5 titik. Aku terpilih menjadi Tim Pengabdi di titik Kemujing 1. Titik yang menurutku yang terpelosok diantara titik lainnya. Jika ditempuh menggunakan jalur darat memang Kemujing 2 yang terjauh, namun Kemujing 2 terletak di tepi waduk yang memudahkan untuk kesana menggunakan jalur air. Sedangkan Kemujing 1 terletak beberapa meter lagi dari dermaga tempat kapal berlabuh.

     13.30 kami sampai di gerbang waduk. Kami menempuh perjalanan menggunakan bis selama kurang lebih 6 jam. Selama perjalanan aku mencoba tidak untuk tidur. Menghafal setiap tikungan yang kami lewati. Mencoba melihat pemandangan yang ada di sekitar. Sesekali kami bersenda gurau dan memakan cemilan yang biasa disuguhkan teman. Sesampainya di Gerbang waduk, Tim Kemujing 1 dan Kemujing 2 harus melanjutkan perjalanan menggunakan jalur air. Kami menyewa 1 kapal yang mampu menampung kami beserta barang bawaan. Sedangan Sumbersari, Kaligowong dan Rejosari masih tetap menempuh lewat jalur darat. Pengalaman tersendiri bagiku yang mendapatkan kesempatan menaiki kapal bersama kawan.

     Dalam perjalananku, aku melihat pemandangan di sekitar waduk buatan tersebut. Terdapat burung yang menyerupai burung bangau bertengger di pohon pinggir waduk. Memiliki kaki yang panjang namun ramping. Aku tidak tahu nama burung tersebut. Kami mengabadikan momen tersebut ke dalam kamera yang dibawa oleh temanku. Kami sempat berebut di bagian depan kapal untuk mendapatkan posisi berfoto yang diinginkan.

     Sesampainya di dermaga Desa Kumejing, itulah awal perjuangan kami. Setelah kami membagi barang Kumejing 1 dan Kumejing 2. Kami memang harus berpisah di Dermaga. Perjalanan Kumejing 1 menuju ke arah barat dan Kumejing 2 harus menempuh ke arah timur. Kami membawa barang bawaan kami dengan berjalan kaki menempuh ratusan meter menuju basecamp tempat tinggal kami nantinya. Dan sebagai seorang laki-laki aku membawa beban yang paling berat diantara lainnya. Saat itu ada 5 laki-laki. 2 orang menuju Kumejing 2 dan 3 orang termasuk aku menuju Kumejing 1. Temanku mencari kayu untuk mempermudah kami dalam memanggul sekian tas sekaligus.

     Disamping memanggul tas teman-temanku, tangan kananku menjinjing tasku sendiri yang paling besar dan tentunya paling berat pula. Memang tasku bisa diseret layaknya koper, namun karena jalanan yang berbatu dan tidak rata memaksaku untuk menjinjingnya. Aku mulai menyesal membawa barang terlalu banyak.

     Warga sekitar sempat heran dengan kehadiran kami. mata mereka terlihat jelas sedang memperhatikan kami yang kesusahan membawa begitu banyak barang bawaan bak turis. Selang beberapa saat ada salah seorang bapak yang memberikan bantuan. Beliau bersedia membawakan barang bawaan kami menuju basecamp. Dengan motornya yang dilengkapi wadah barang di belakang beliau mengangkut barang kami. Jelas yang pertama beliau angkut adalah tasku yang mempunyai bobot berat. Beliau sungguh baik sekali. Menolong orang yang belum dikenalnya tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun. Jarang sekali ditemukan seorang macam beliau di era globalisasi seperti ini. Keikhlasan terlihat dari cara beliau menolak pemberian upah dari kami.

     Tubuhku sudah lengket dengan keringat. Baju dan kaos yang kukenakan sudah basah tercampur peluh dan guyuran gerimis yang sempat hadir dalam perjalanan kami. bahuku sudah terasa memar akibat memanggul barang yang begitu berat. Saat itu hanya berharap segera menuju basecamp dan mandi.

     Sampai di basecamp ternyata rumah tersebut sangat kotor. Maklum itu adalah rumah yang ditinggal merantau oleh pemiliknya selama 5 tahun terakhir. Tak mungkin bagi kami langsung tidur disana. Untung saja ada tetangga yang baik hati menyediakan penginapan bagi kami. Lagi-lagi bantuan Allah menyertai dengan perantara penolong baik hati itu. Rencana malam itu, Laki-laki menginap di rumah bapak kades Kumejing, sedangkan kaum hawa menginap di rumah ibu cantik penolong yang belum kuketahui nama beliau.


Next Chapter : “Kita Makan Apa nanti?”

Komentar

Postingan Populer