“Unforgetable Experiences”




Aku, Abiq Muhammad Faesal. Ini  adalah liku-liku kehidupan semasa di Pondok. Anggaplah nama pondok itu Ponpes ****. Ketika pertama kali masuk pondok, aku merasa telah memasuki kawasan bebas orang tua(horee!!), kawasan gaptek, dan kawasan yang lain-lain. Aku menyebutnya kawasan bebas orang tua karena orang yang lagi nyantri di pondok itu tidak boleh bawa orang tua. Pastinya dong, bayangin aja kalau orang tua ikut- ikut nyantri di pondok bareng sama anaknya. Yang kedua, aku sebut kawasan gaptek karena disini tuh dilarang keras bawa Laptop, HP, Radio, Walkman Walkgirl, Tape, dan Getuk. Gimana caranya dapet info luar nih. Peraturan di pondokku itu ketatnya bukan main. Diarang ngenet, dilarang liat tv di rumah tetangga, dilarang ngerokok, dilarang bawa alat elektronik kecuali setrika,dan masih banyak lagi. Entah apa artinya dibuatnya peraturan itu. Tapi apalah daya, saya hanyalah santri junior yang hanya tunduk pada peraturan pondok itu. Pernah suatu insiden menimpaku. Waktu itu aku bosen mau ngapain, sesaat aku berpikir untuk ngenet di warnet yang baru yang lokasinya gak jauh-jauh banget dari pondok. Pada saat pengalaman perdanaku memasuki daerah terlarang, jantungku berdegup kencang ,dug . . jedug . . jedug . . jedug . . jedug.. . .


“Bang, ada yang kosong gak nih tempatnya?”
“Oh, ada. Tuh di pojokkan. ”
Yess, tempat strategis nih. Semoga aja kagak ketahuan Kang-Kang pondok. Oh iya, di pondok ini, kami sering sapa-menyapa dengan sebutan “Kang”. Baik yang tua menyapa yang muda, ataupun sebaliknya. Pertama kalinya aku manggil gitu sih rasanya rada gimana gitu. Apalagi waktu aku dipanggil sama salah satu santri yang sama- sama kelas 7 sama kayak aku.
“Kang, Boleh kenalan?Namaku Deko”
“Kang?? Maaf kamu salah kenal,Dek. Nama saya Faesal. Bukan kangkung”
Gubrakk
Oke. Kembali lagi di warnet. 2 jam berlalu kujalani berduaan dengan komputer. Dan 2 jam itu pula aku berhasil membuat 3 status facebook yang masing-masing diberi like lebih dari 10 orang. Wuih, suatu kebahagiaan tersendiri buat anak gaptek cap anak pondok. Tak terasa arloji sudah menunjukkan 16.07. Saatnya untuk berpamitan sama tukang operatornya nih. Menyusuri jalan setapak menyebrangi selokan hitam kulewati  demi satu tujuan. Penjara Suci.  Ketika sampai di perempatan jalan, tiba-tiba ada Kang Komet selaku pengurus dengan jabatan “KEAMANAAN”. Waduh, ketahuan ini.
Kang Faesal, Bar saka endi?
Ini sih namanya Srigala berbulu ketek. Pertanyaannya sekarang sih halus, tapi nanti kalo disidang di pengadilan, suaranya bagaikan guntur di siang bolong . Tapi logat Banyumasnya itu buatku terhibur. Menurutku logat orang Banyumas itu lucu. Oh iya, di pondok itu tempat bertemunya berbagai bahasa. Karena mondok, aku sekarang sedikit mengerti logat-logat bahasa daerah lain. Ternyata seru punya temen dari berbagai penjuru.

Mm. . ehh. . . .dari makan mie ayam di warung pojokan itu kang.
Ya Allah, maafkan hambamu yang berbohong demi kebaikan ini. Kan untuk menyelamatkan diri itu baik.
Kok rak ana ambune?
Kan wis entek nek weteng, kang!
Tiba-tiba kang Komet mendekatkan hidungnya di wajahku. Hii, maho’ nih orang.
Kok abab’e ogak mambu mie ayam?kowe ngapusi yak? Mengko ba’da Jama’ah Isya’ kowe  nek kantor!!”.
Yah, alamat kena ta’zir1 ini. Setelah sampai di pondok, hatiku gundah gelisah. Timbul penyesalan dalam hatiku. Kenapa aku ngenet?kenapa aku tidak mematuhi peraturan pondok?. Waktu yang ditentukan segera mendekat. Namaku dipanggil dari kantor lewat pengeras suara yang memang sering digunakan untuk memanggil orang. Tapi kalau ada kata “. . . . Dipanggil ke kantor segera” pasti ada 2 alasan mengapa dipanggil. Pertama, karena kena ta’zir. Kedua, karena punya hutang sama menteri keuangan pondok tuh. Serasa maut menjelang. Kubuka perlahan-lahan pintu kantor.Kreeeek.. . . .
Assalamu’alaikum,Kang kulonuwun. . . .
Wa’alaikum salam, kang. . kene lungguh
Kulihat di kantor hanya ada Kang Komet seorang. Alhamdulillah, Algojonya cuman 1 orang, batinku.
“Kang, ngaku tah ogak. . . mau kowe nang endi?”.
Tuh kan bener, suaranya kenceng banget. Buatku merinding.
Ampun, Kang. Kulo ngaku dari warnet”.
Kowe tak ta’zir amarga kowe ngelanggar. Ngeresik’i WC, Kang”.
Njeh,Kang”.
Setelah diputuskan ta’ziranku, aku berpamitan kepada Kang Komet dan langsung  ganti pakaian dan meluncur menuju WC. Di pondok ini WCnya ada 30 biji. Dengan santri yang jumlahnya sekitar  1000an orang. Berarti kalau dihitung-hitung 1 WC kira-kira dibuat ngantri sebanyak 34 orang. Untungnya tadi disuruh Kang Komet hanya 2 WC. Berbagai cacian dan makian teman-temanku tertuju padaku. Huft. . . capek.
Sesaat setelah aku kelas 8 MTs, didirikanlah Warnet resmi buat anak pondok. Tapi komputernya cuma disediakan 4 aja. Dengan jumlah yang sangat sedikit, setiap pulang sekolah aku berlomba-lomba untuk menjadi yang tercepat agar mendapatkan fasilitas internet. Walaupun pesaing yang berminat untuk ngenet lebih dari 1000 santri. Aku hampir setiap saat mendapatkan tempat itu karena kelasku yang lokasinya dekat dengan tempat warnetnya. Tetapi sifat guru yang mengajar pada jam  terakhir juga menjadi faktor penentu keberhasilanku. Jika gurunya sepuh­­­­2, aku beruntung. Sebab kalau aku lari setelah bel tanda pulang, beliau tidak akan marah. Tetapi kalau gurunya masih muda, pasti aku dikejar-kejar dan dimarahin. “Gak sopan. . . .”. Begitulah katanya kepadaku. Huft, begitu mahalnya suatu hiburan di pondok.  Orang-orang di pondok itu polos banget. Kalau liat ada yang daftar Friendster, pada ikut-ikutan daftar. Padahal gak tau apa itu Friendster. Kalo liat ada yang main game online, pada ikutan semua. Walaupun kecepatan koneksi di warnet resmi itu lambat banget, tetap saja ramai dikunjungi oleh santriwan-santriwati.
Selain di warnet, anak pondok disitu juga punya tempat favorit lagi. Yaitu “Perpustakaan”. Seperti wahyu pertama Rasulullah “ Iqra’ “ yang artinya Bacalah!!, perpustakaanlah yang tempat untuk membaca bagi anak pondok. Tetapi bagiku dan teman-teman yang lainnya, perpustakaan adalah tempat yang tepat untuk tidur siang. Disebabkan karena udara di pondok sangat panas dan di perpustakaan adalah satu-satunya fasilitas yang diberikan AC. Maka tidak sulit menemukan orang yang tidur di perpustakaan. Hal itu bukan karena tertidur akibat kelelahan membaca melainkan perbuatan yang disengaja. Pura-pura pinjam buku. Baca di bawah meja. Dan tidurlah!.
Kalau belum gudikan3 berarti belum santri. Kata itu adalah kata-kata untuk menyemangati orang yang sedang berpenyakit gudikan. Tetapi semboyan itu diubah oleh Kyai pondok disitu dengan “Kalau masih gudikan berarti belum santri”. Ngomong-ngomong masalah penyakit itu,  aku juga pernah terkena penyakit itu. Kelas 2 Setelah UTS Semester I akhirnya kekebalan tubuhku tak sanggup menghalangi penyakit gudikan. Perlu kuakui, terkadang aku meneteskan air mata karena perihnya sakit ini. Yang aku lebih khawatirkan adalah jika aku terkena penyakit ini, pasti teman-teman agak menjauhiku. Bau amis akan keluar dari luka gudik. Aku mencoba terus bersabar dan bersabar. Tak jarang aku mengikuti saran cara penyembuhan dari para Kang senior yang pernah mengalaminya. Ada yang berkata akan cepat sembuh kalau waktu mandi, penyakitnya digosok sampai bersih, ada yang diberi cairan spirtus, ada yang menyuruh dijemur dipanas terik matahari. Semuanya kulakukan itu. Tidak terkecuali aku juga sering ke spesialis dokter kulit ketika aku dijengguk oleh orang tuaku. Setelah memakan waktu banyak untuk mengobati penyakit ini selama 1 bulan, akhirnya sembuh juga.
Ujian Semester I tinggal 1 minggu lagi. Aku tidak mempermasalahkan nilai ujianku kelak. Yang kujadikan tujuan adalah hafalan “Al-fiyah Ibnu Malik” . kitab berisin nadhoman nahwu karangan Ibnu Malik itu menjadi syarat kenaikan kelas disini. Kalau masalah nilai ujian itu bisa ikutan remidi. Tapi kalau gak hafal Al-fiyah, itu pasti positive hamil tidak naik kelas.
Soal demi soal kuhadapi  apa adanya. Kalau tahu jawabannya akan kuisi. Kalau tidak tahu jawabannya ya tengok kanan dan tengok kiri. Tetapi malangnya aku tak dapat menghafalkan dengan tuntas. Berarti aku harus double dalam hafalan di Mid Semester II kelak. Setelah pulang sekolah pada ujian terakhir, aku hendak pulang menuju pondok. Karena aku berjalan menghadap kebawah karena agak frustasi belum setoran hafalan di tengah jalan tiba-tiba aku menabrak sosok giant yang tubuhnya besar sekali, penuh lemak. Aku mengira berat badannya sekitar 95kg Ia berkata.
Afwan ya Akhi
La, ba’tsa ya Syaikh
Lalu ia meninggalkanku begitu saja.
Teman-temanku berkata bahwa pria itu adalah dosen dari Arab Saudi yang akan menetap di pondok selama 4 tahun. Ia akan mengajari ilmu Bahasa Arab di Pondok ini. Berarti pondok ini sudah terkenal,batinku. Tak sedikit pula alumni dari sekolah ini yang belajar di timur tengah dengan jalur beasiswa. Aku ingin sekali ya Allah. Tetapi menghafalkan Al-fiyah saja aku masih belum bisa, apalagi sekolah di luar negri. Segera kupendam dalam-dalam impian itu dariku. Di masa awal-awalannya dosen arab itu ramah sekali. Walaupun ilmu pemahaman Bahasa Arabku minim sekali, aku bisa melihat sikap dari dosen itu. Tetapi suatu ketika adhan sholat Ashar berkumandang, Dosen tersebut sangat marah sekali melihat santri-santri yang tidak sholat berjama’ah. Karena berjama’ah Ashar tidak diwajibkan bagi pihak pengurus karena waktu Ashar itu banyak santri yang mulai mandi karena takut terlalu lama mengantri. Jadi banyak orang yang berpikiran bahwa mandi dahulu, baru mengerjakan sholat Ashar. Ketika dosen tersebut marah, ia menggedor-gedor pintu kamar satu persatu menyeret para santri yang didalam untuk berjama’ah. Laksana kingkong yang sedang mengamuk, ia menyeret salah satu temanku yang baru keluar dari kamar mandi. Ia hanya mengenakan handuk kecil untuk menutupi kemaluannya saja. Malangnya nasibnya.
Begitu banyak kenangan di Pondok. kisah senang, sedih, haru, kami alami pada sesama santri. Aku ingin berteu teman-temanku. Merekalah yang membuatku merasa nyaman hidup di pondok. Tetapi karena tuntutan orang tua yang harus memaksaku meninggalakan pondok itu, ku harus menuruti kemauan orang tuaku ini. Birul walidain kan wajib bagi anak kepada orang tuanya ^_^”. Menjelang perpisahanku dengan teman-teman seperjuanganku, mereka bukannya merindukan aku tetapi malah meminta benda warisan dariku. Gubrak. . payah nih. . Akhirnya ku ikhlaskan sebagian pakaianku yang masih layak dan seragam sekolah untuk mereka dengan niat Shodaqoh terakhir untuk mereka. Selamat tinggal teman-teman, selamat tinggal Kang-Kang pengurus, selamat tinggal pondokku yang penuh kenangan. Dan yang terpenting
 “Selamat tinggal peraturan yang terlalu ketat bagiku!!!!!”
Seiring dengan perjalanan pulang, terdengar sayup-sayup paduan suara dari teman-temanku yang menyanyikan lagu Bondan dengan Rhime In Peace (RIP)
Hari- hari yang kan kujalani. . . . . .
Kini semua kan terasa sunyii. . . .
Walau hampa pasti kujalani. . . .
Kuucapkan “Selamaat Jalaan. . .” 
So sweet. Kalian tak akan kulupakan kawan. Semoga kita bertemu di kemudian hari ketika kesuksesan hidup memihak kepada kita semua.

Komentar

Postingan Populer